Indonesia Ports: Mismanagement and the Tanjung Priok Split
In response to severe congestion, Indonesia's transportation Minister Dudy Purwagandhi is considering relocating loading and unloading activities from Tanjung Priok to Banten and Patimban Ports.
Indonesia Ports: Mismanagement and the Tanjung Priok Split
By Featured contributor Oleh Siswanto Rusdi, Director of The National Maritime Institute (Namarin)
Transportation Minister Dudy Purwagandhi has once again put forth controversial ideas in the national port business. Reported by the media, his agency is considering relocating loading and unloading activities from Tanjung Priok Port to Banten and Patimban Ports. This option responds to recent severe congestion, as Tanjung Priok Port has a maximum capacity of 65%, both in the port and on its roads. The port must not exceed this threshold. Despite the Ministry's consideration of relocating activities to Banten and Patimban Ports, the decision ultimately lies with the businesses involved.
Previously, Minister Dudy sparked controversy in the port business with the policy of restricting trucks for 16 days during Eid. This was the longest restriction, previously only lasting 12 days. Naturally, truck operators were upset and staged demonstrations, demanding the minister's removal. Yet, Dudy remained steadfast. Subsequently, media surveys showed that the truck restriction policy successfully facilitated the movement of holiday travelers to their hometowns. A week after this achievement, upon the lifting of the restriction, Tanjung Priok Port experienced severe congestion. Observers and businesses pointed to the truck restriction policy as contributing to this congestion.
They observed that during the truck restriction, many container ships omitted docking/loading-unloading at the terminals in Tanjung Priok Port, despite having service agreements (windows) with terminal operators. This situation inevitably signaled global shipping companies that congestion was occurring at the port—a negative signal for Indonesia's image. The Ministry seemed unaware or indifferent to this issue. When the truck restriction was lifted after Eid, the ships that had been roaming returned to dock and unload at the terminals, not just at NPCT-1 as reported by the media.
Minister Dudy, a protégé of Haji Isam (Andi Syamsuddin Arsyad, a prominent wealthy figure from South Kalimantan), claimed that the horrific congestion was caused by terminal operators exceeding their capacity limits, not by the 16-day Eid truck restriction policy. Pelindo supported Dudy's allegations. Pelindo's CEO, Arif Suhartono, criticized NPCT-1's management for being careless and inaccurate in operational planning. In agreement with the Ministry, Pelindo concluded that the horrific congestion at Tanjung Priok Port had no connection with the Eid truck restriction. The surge in activity at Tanjung Priok Port was due to three ships docking simultaneously at NPCT-1, increased yard density exceeding normal thresholds, and simultaneous serving of receiving and delivery container trucks beyond equipment capacity.
So, where is the controversy in Minister Dudy's option of relocating loading and unloading activities from Tanjung Priok Port to Banten and Patimban Ports? There are several explanations for this question. First, a port is a highly unique entity, unlike other infrastructures like bus terminals. It is extremely strategic for the port state. It becomes the precursor to the state itself, established concurrently or even earlier, and serves as a landmark of their existence. Regarding Tanjung Priok Port, it was established by the Dutch in the 19th century as an extension of Sunda Kelapa Port, which was built earlier.
Banten and Patimban Ports are relatively newer; their physical conditions are quite good. However, their economy of scale is far below Tanjung Priok. They are merely second-class ports. With such conditions, Dudy Purwagandhi wants these two ports to be alternative loading-unloading sites when Tanjung Priok Port is choked by congestion. This clearly suggests a lack of understanding of port business or management. The minister's suggestion, if implemented, could raise logistics costs as the ships relocated have already bound windows at Tanjung Priok Port's terminals. This presents a dilemma for shipping companies: how much will they have to pay for pilot services, berth fees, unloading equipment fees, etc., at terminals not in their windows? Certainly costly.
Secondly, each port essentially has an intrinsic vigour within itself. With this quality, it can compete and be contested in the global port business arena. Its rise and fall are determined by good marketing, reliable terminal operations, etc., managed by its operator. By mandating ships to load/unload at Banten and Patimban Ports, Minister Dudy is disrupting this fundamental principle. Again, this proves that he does not understand the port business. In Banten, there are many ports: some managed by state-owned port companies and others by private port companies—locally known as TUKS and Tersus. Which one does Dudy mean as an alternative to Tanjung Priok?
Meanwhile, Patimban Port, in Subang, West Java, has shown 'mediocre' performance since its inauguration by President Joko Widodo in 2020. Despite receiving special treatment from the government since Budi Karya Sumadi's tenure as Transportation Minister, it has yet to attract a significant number of customers. It seems that this port has weaknesses in marketing (needs the minister to market it), operations, and others. In other words, it is uncontestable, even with Tanjung Priok Port.
So far, Tanjung Priok Port, whether liked or not, is the best Indonesia has. Yet, it is often undermined by statements from ministers or directors-general of sea transportation. Proposing the relocation of loading-unloading to Banten and Patimban Ports is clearly an effort to diminish Tanjung Priok Port's existence. The problem lies in port management, which is tampered with by the port itself. Mismanagement, Tanjung Priok Split.
https://www.linkedin.com/feed/update/urn:li:activity:7327898729397604352/
Original Language Bahasa
Buruk Tata Kelola, Tanjung Priok Dibelah
By Oleh Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi kembali melontarkan gagasan kontroversial dalam bisnis kepelabuhanan nasional. Dilaporkan oleh media, instansi yang dipimpinnya membuka opsi pemindahan aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan di Banten dan Pelabuhan Patimban. Pilihan untuk pelabuhan selain Tanjung Priok tersebut merespons kemacetan parah beberapa waktu lalu. Pasalnya, Pelabuhan Tanjung Priok memiliki kapasitas maksimum sebesar 65% baik di pelabuhan maupun jalannya. Pelabuhan itu tidak boleh melebihi ambang batas ini. Kendati Kemenhub mempertimbangkan pemindahan aktivitas bongkar muat di pelabuhan lain yaitu Banten dan Patimban namun keputusan ada di tangan pelaku usaha untuk memilih pelabuhan.
Sebelumnya, Menhub Dudy juga memicu ‘kegaduhan’ dalam bisnis kepelabuhanan dengan kebijakan pembatasan truk selama 16 hari saat Idul Fitri lalu. Ini pembatasan terlama, sebelumnya hanya 12 hari. Kontan saja pengusaha truk bergejolak dan sempat menggelar demonstrasi dan mendesak sang menteri dicopot. Namun Dudy bergeming. Belakangan, berdasarkan survei media, kebijakan pembatasan truk yang diberlakukan Kemhub dinilai sukses dalam melancarkan pergerakan pemudik menuju kampung halaman mereka. Seminggu setelah prestasi ini, ketika pembatasan dicabut, Pelabuhan Tanjung Priok didera macet parah. Pengamat dan pelaku usaha yang menilai bahwa kebijakan pembatasan yang dia berlakukan memiliki kontribusi dalam kemacetan itu.
Menurut mereka, ketika pembatasan truk dijalankan, ada banyak kapal (peti kemas) meng-omitsandar/bongkar-muat di terminal yang yang ada di Pelabuhan Tanjung Priok. Padahal mereka sudah memilik perjanjian pelayanan alias window dengan pengelola terminal. Situasi ini tentu saja mengirim sinyal kepada pelayaran global bahwa terjadi kongesti di pelabuhan, sesuatu yang tidak baik bagi citra Indonesia. Pihak Kemhub sepertinya tidak tahu atau tidak mau peduli akan ihwal ini. Ketika pembatasan truk dicabut usai Lebaran kapal-kapal yang “bergentayangan” tadi merapat dan bongkar-muat di terminal-terminal yang ada. Tidak hanya di NPCT-1 seperti yang diberitakan oleh media.
‘Kader’ Haji Isam (Andi Syamsuddin Arsyad, crazy rich asal Kalimantan Selatan) itu mengklaim bahwa kemacetan horor disebabkan pelanggaran kapasitas terminal oleh pengelola pelabuhan. Bukan akibat kebijakan pembatasan kendaraan angkutan Lebaran selama 16 hari yang diambilnya. Pelindo mendukung tudingan Dudy. Direktur Utama Pelindo Arif Suhartono menilai manajemen NPCT-1 ceroboh dan tidak cermat dalam melakukan perencanaan operasi. Senada-seirama dengan Kemhub, Pelindo menyimpulkan bahwa kemacetan horor di Pelabuhan Tanjung Priok tidak ada kaitannya dengan pembatasan angkutan saat Lebaran Idul Fitri 2025/1446 Hijriah. Lonjakan aktivitas di Pelabuhan Tanjung Priok merupakan kombinasi dari adanya tiga kapal yang sandar berbarengan di NPCT-1, peningkatan kepadatan lapangan penumpukan yang melebihi ambang normal. Sementara pada waktu bersamaan, alat bongkar muat di lapangan juga harus melayani receiving dan delivery truk peti kemas yang juga melebihi kapasitas peralatan.
Catatan
Lantas, di mana kontroversialnya opsi Menhub Dudy yang berencana memindahkan aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan di Banten dan Pelabuhan Patimban? Ada beberapa penjelasan untuk pertanyaan dimaksud. Pertama, pelabuhan merupakan sebuah entitas yang amat unik yang berbeda dengan infrastruktur lainnya, terminal bus, misalnya. Ia amat sangat strategis bagi negara yang memilikinya (port state/negara pelabuhan). Ia menjadi cikal-bakalnya negara bersangkutan karena didirikan seiring, bahkan lebih dahulu, dan menjadi penanda keberadaan atau landmark mereka. Dalam kaitannya dengan Pelabuhan Tanjung Priok, ia didirikan oleh Belanda pada abad ke-19 sebagai pengembangan Pelabuhan Sunda Kelapa yang dibangun terlebih dahulu.
Pelabuhan Banten dan Patimban relatif lebih baru; kondisi fisiknya lumayan bagus. Hanya saja economy of scale-nya jauh di bawah Tanjung Priok. Mereka hanyalah pelabuhan kelas dua. Dengan kondisi yang seperti itu, Dudy Purwagandhi ingin kedua pelabuhan tersebut menjadi alternatif bongkar-muat bilamana Pelabuhan Tanjung Priok dicekik oleh kemacetan. Ini jelas lontaran orang yang tidak mengerti bisnis atau tata kelola pelabuhan. Usulan sang menteri bila dijabanin berpeluang mengerek biaya logistik karena kapal-kapal yang digeser itu sudah terikat window pada terminal di Pelabuhan Tanjung Priok. Muncul dilema bagi pelayaran: berapa biaya yang harus keluarkan untuk pandu-tunda, biaya dermaga, biaya alat bongkar-muat, dsb di terminal yang bukan window mereka? Pastinya mahal.
Catatan kedua, setiap pelabuhan sesungguhnya memiliki elan vital dalam dirinya masing-masing. Dengan kualitas ini ia akan mampu bersaing dan dipersaingkan (contestable) dalam kancah bisnis dengan pelabuhan lain di dunia. Jatuh dan bangunnya ditentukan oleh aspek pemasaran yang baik, operasional terminal yang andal, dll yang dijalankan oleh pengelolanya. Dengan mentitahkan agar kapal-kapal melakukan bongkar-muat di Pelabuhan Banten dan Patimban, Menhub Dudy merusak hukum besi ini. Lagi, ini membuktikan bahwa dia tidak mengerti bisnis pelabuhan. Di Banten itu banyak pelabuhan: ada yang dikelola oleh perusahaan pelabuhan pelat merah dan ada pula yang dikelola oleh perusahaan pelabuhan swasta – dikenal dalam khazanah lokal sebagai TUKS dan Tersus. Yang mana satu yang dimaksud Dudy sebagai alternatif Tanjung Priok?
Sementara itu, Pelabuhan Patimban, di Subang, Jawa Barat, sejak diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 2020 memperlihatkan performansi ‘gitu-gitu aja’ bila tidak hendak disebut melempem. Padahal, sejak zaman Budi Karya Sumadi masih menjabat menteri perhubungan pelabuhan ini banyak mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Tetap saja ia belum berhasil mendatangkan pelanggan yang signifikan jumlahnya. Sepertinya bandar ini memiliki kelemahan dari aspek pemasaran (perlu menhub untuk memasarkannya), operasional dan lainnya. Dalam kalimat lain, ia tidak bisa dikontestasikan alias uncontestable, bahkan dengan Pelabuhan Tanjung Priok.
Sejauh ini Pelabuhan Tanjung Priok, suka tidak suka, adalah yang terbaik yang dimiliki oleh Indonesia. Namun ia selalu disepelekan oleh pernyataan menteri atau direktur jenderal perhubungan laut. Mewacanakan pemindahan bongkar-muat ke Pelabuhan Banten dan Pelabuhan Patimban jelas upaya untuk mengecilkan keberadaan Pelabuhan Tanjung Priok. Yang bermasalah tata kelola kepelabuhanan yang diobok-obok pelabuhannya. Buruk tata kelola, Tanjung Priok dibelah.
SELESAI